Kerajinan Unik Bin "Nyeleneh" Bikin Ita Eksis Berbisnis
Berkat produk kerajinan yang berbeda dan unik, usaha Ita Latiana tetap eksis hingga kini. Dia pun berhasil merangkul para perajin daerah, khususnya di Pulau Jawa. Kepeduliannya terhadap produk kerajinan negeri sendiri itu telah tertanam pada dirinya sejak ia masih di bangku kuliah.
Kepekaan Ita terhadap nasib perajin kecil yang umumnya kurang memiliki motivasi dalam mengembangkan usaha, bahkan cenderung tidak punya komitmen kuat; mendorong dirinya untuk menjalin kerja sama dengan mereka untuk menjembatani hubungan perajin dan konsumen.
Kepekaan Ita terhadap nasib perajin kecil yang umumnya kurang memiliki motivasi dalam mengembangkan usaha, bahkan cenderung tidak punya komitmen kuat; mendorong dirinya untuk menjalin kerja sama dengan mereka untuk menjembatani hubungan perajin dan konsumen.
Masalah kurangnya modal jamak menjadi faktor utama yang menghambat perajin dalam berkreasi. Apalagi ditambah kurangnya pendidikan yang memadai, bahkan mayoritas dari mereka tidak dapat baca-tulis.
Berangkat dari kenyataan ini, hati Ita tergugah untuk dapat berbuat sesuatu. Keprihatinannya semakin menggebu-gebu ketika melihat beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta, selalu didominasi produk impor, misalnya dari Cina. Memang, dia mengakui barang-barang tersebut harga jualnya relatif murah.
Namun, menurut dia, hasil kerajinan produksi lokal tidak kalah menarik dan berkualitas, bahkan harganya mampu bersaing. Dia mencontohkan, tiga tangkai bunga kering yang tampak menawan, meskipun berasal dari bahan daur ulang, bisa didapatkan dengan hanya mengeluarkan uang Rp10.000 per tiga tangkai.
Ia menambahkan dari koleksi kerajinannya yang seratus persen buatan Indonesia, ada beberapa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Bahkan, di Negeri Tirai Bambu sekalipun. Karena itu, pelanggan dari luar negeri tidak segan-segan memesannya langsung. Menurut mereka, kata Ita, apabila sudah sampai di negara pembeli barang-barang tersebut harganya berlipat ganda.
Selain itu, kecenderungan masyarakat saat ini yang lebih memilih untuk kembali dan menggunakan barang natural menjadikan kiosnya tidak pernah sepi dari pengunjung, baik itu yang hanya membeli secara eceran ataupun untuk diekspor.
Keuletan wanita kelahiran Surabaya dalam mengembangkan usahanya ini, dilalui dengan melewati segala macam rintangan. Berawal dengan memanfaatkan lahan kosong di bilangan Cileungsi, ia memulai usaha menjual tanaman hidup.
Bahkan Ita sempat juga mencari celah untuk menitipkan tanamannya di Carrefour. Namun, nasib baik tidak memihak padanya, karena itu setelah satu tahun menggeluti bisnis ini usahanya pun kandas di tengah jalan.
Dalam kegelisahannya Ita membuka usaha yang bisa dilakukan sembari mengasuh anak satu-satunya. Ia lalu membeli kios kecil di sebelah rumahnya. Di tempat yang dulunya untuk usaha rental VCD itu Ita menjual pernak-pernik kerajinan dari berbagai daerah.
Dia memulai usahanya itu bermodalkan uang Rp6 juta dan jaringan yang cukup dalam berinteraksi dengan para perajin kecil di Yogyakarta. Pada awalnya ia menjual keramik sisa ekspor dari pengusaha di Probolinggo. Langkah awal ini juga didukung dengan menyewa ruangan di bilangan Cempaka Mas.
Hobi bertualang lah yang mendorongnya terus mencari celah baru. Sampai ia harus menelusuri berbagai pelosok untuk menemui para perajin, sehingga bisa mendapatkan barang kerajinan berseni tinggi.
"Saya suka barang yang sedikit nyeleneh, jadi beda dari lainnya," ujarnya.
Usaha yang dibinanya dari nol ini dalam waktu enam bulan membuahkan hasil. Terbukti dengan kemampuannya, Ita dapat mengembalikan modal awal pinjamannya.
Dan dikarenakan tampilan outlet-nya yang apik serta menarik membuat semua mata terpana, termasuk pihak pengelola Cempaka Mas. Maka, dengan segera mereka mengizinkan dirinya dapat menempati ruang yang lebih besar di bagian depan.
Outlet yang berada di bawah bendera Benison Mart, saat ini telah memenuhi lokasi strategis di pusat grosir terlengkap itu.
Bahkan, beberapa waktu lalu ia membuka lagi satu kios baru guna lebih mendekatkan dengan pelanggannya. Ia optimistis dengan omzet yang diterima setiap hari, bahkan mampu memenuhi kebutuhan 10 orang pegawainya.
Sampai kini, setelah empat tahun menekuni bisnis kerajinan, setiap bulan ia mendapatkan kiriman dari perajin sebanyak 5.000 items dari berbagai jenis seperti tas, kembang, keramik, dan bangku set kasongan.
"Semuanya adalah produksi lokal, boleh dong jadi tuan rumah di negara sendiri," ujar wanita lulusan fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia ini.
Dalam menjalin ikatan yang erat dengan para perajin, Ita berusaha untuk tetap membina tali kekeluargaan.
Meskipun begitu, ia berusaha mengedepankan komitmen dengan perajin. Menurut dia, sangat sulit membentuk komitmen yang jelas, apalagi terkadang mereka lebih mementingkan keluarganya sendiri.
Hal ini yang menjadi kendala utamanya, sampai-sampai dia pernah menerima pesanan yang tidak sesuai order. Untunglah Ita dapat menyikapinya dengan penuh kesabaran, sambil memberikan masukan yang membangun demi kepentingan bersama.
Belajar dari pengalaman membuat ia bisa bertahan sampai sekarang. Kegigihan serta ketekunan yang tinggi menjadi kunci sukses dirinya, sehingga ia mampu menggandeng perajin yang berasal dari beberapa daerah di Yogyakarta, Surabaya, Probolinggo, Plered dan lain-lain.
Jujur kepada setiap pelanggannya juga menjadi perhatian utama Ita. Ia tidak segan-segan memberitahukan kepada calon pembeli mengenai kualitas barang yang akan dijualnya. "Kalau itu kualitas nomor dua, ya pasti calon pembeli saya kasih tahu," sambung kelahiran 17 Juni 1971 ini.
Ita menjelaskan barang kerajinan yang dijualnya mempunyai konsumen yang mengerti kualitas berdasarkan bahan baku pilihan.
Tentu saja bila barangnya berkualitas tinggi, harga yang ditawarkan akan disesuaikan. Namun, ia berusaha untuk tetap menampilkan produk yang dapat dikonsumsi oleh semua kalangan. (Ciputraentrepreneurship.com)
Berangkat dari kenyataan ini, hati Ita tergugah untuk dapat berbuat sesuatu. Keprihatinannya semakin menggebu-gebu ketika melihat beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta, selalu didominasi produk impor, misalnya dari Cina. Memang, dia mengakui barang-barang tersebut harga jualnya relatif murah.
Namun, menurut dia, hasil kerajinan produksi lokal tidak kalah menarik dan berkualitas, bahkan harganya mampu bersaing. Dia mencontohkan, tiga tangkai bunga kering yang tampak menawan, meskipun berasal dari bahan daur ulang, bisa didapatkan dengan hanya mengeluarkan uang Rp10.000 per tiga tangkai.
Ia menambahkan dari koleksi kerajinannya yang seratus persen buatan Indonesia, ada beberapa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Bahkan, di Negeri Tirai Bambu sekalipun. Karena itu, pelanggan dari luar negeri tidak segan-segan memesannya langsung. Menurut mereka, kata Ita, apabila sudah sampai di negara pembeli barang-barang tersebut harganya berlipat ganda.
Selain itu, kecenderungan masyarakat saat ini yang lebih memilih untuk kembali dan menggunakan barang natural menjadikan kiosnya tidak pernah sepi dari pengunjung, baik itu yang hanya membeli secara eceran ataupun untuk diekspor.
Keuletan wanita kelahiran Surabaya dalam mengembangkan usahanya ini, dilalui dengan melewati segala macam rintangan. Berawal dengan memanfaatkan lahan kosong di bilangan Cileungsi, ia memulai usaha menjual tanaman hidup.
Bahkan Ita sempat juga mencari celah untuk menitipkan tanamannya di Carrefour. Namun, nasib baik tidak memihak padanya, karena itu setelah satu tahun menggeluti bisnis ini usahanya pun kandas di tengah jalan.
Dalam kegelisahannya Ita membuka usaha yang bisa dilakukan sembari mengasuh anak satu-satunya. Ia lalu membeli kios kecil di sebelah rumahnya. Di tempat yang dulunya untuk usaha rental VCD itu Ita menjual pernak-pernik kerajinan dari berbagai daerah.
Dia memulai usahanya itu bermodalkan uang Rp6 juta dan jaringan yang cukup dalam berinteraksi dengan para perajin kecil di Yogyakarta. Pada awalnya ia menjual keramik sisa ekspor dari pengusaha di Probolinggo. Langkah awal ini juga didukung dengan menyewa ruangan di bilangan Cempaka Mas.
Hobi bertualang lah yang mendorongnya terus mencari celah baru. Sampai ia harus menelusuri berbagai pelosok untuk menemui para perajin, sehingga bisa mendapatkan barang kerajinan berseni tinggi.
"Saya suka barang yang sedikit nyeleneh, jadi beda dari lainnya," ujarnya.
Usaha yang dibinanya dari nol ini dalam waktu enam bulan membuahkan hasil. Terbukti dengan kemampuannya, Ita dapat mengembalikan modal awal pinjamannya.
Dan dikarenakan tampilan outlet-nya yang apik serta menarik membuat semua mata terpana, termasuk pihak pengelola Cempaka Mas. Maka, dengan segera mereka mengizinkan dirinya dapat menempati ruang yang lebih besar di bagian depan.
Outlet yang berada di bawah bendera Benison Mart, saat ini telah memenuhi lokasi strategis di pusat grosir terlengkap itu.
Bahkan, beberapa waktu lalu ia membuka lagi satu kios baru guna lebih mendekatkan dengan pelanggannya. Ia optimistis dengan omzet yang diterima setiap hari, bahkan mampu memenuhi kebutuhan 10 orang pegawainya.
Sampai kini, setelah empat tahun menekuni bisnis kerajinan, setiap bulan ia mendapatkan kiriman dari perajin sebanyak 5.000 items dari berbagai jenis seperti tas, kembang, keramik, dan bangku set kasongan.
"Semuanya adalah produksi lokal, boleh dong jadi tuan rumah di negara sendiri," ujar wanita lulusan fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia ini.
Dalam menjalin ikatan yang erat dengan para perajin, Ita berusaha untuk tetap membina tali kekeluargaan.
Meskipun begitu, ia berusaha mengedepankan komitmen dengan perajin. Menurut dia, sangat sulit membentuk komitmen yang jelas, apalagi terkadang mereka lebih mementingkan keluarganya sendiri.
Hal ini yang menjadi kendala utamanya, sampai-sampai dia pernah menerima pesanan yang tidak sesuai order. Untunglah Ita dapat menyikapinya dengan penuh kesabaran, sambil memberikan masukan yang membangun demi kepentingan bersama.
Belajar dari pengalaman membuat ia bisa bertahan sampai sekarang. Kegigihan serta ketekunan yang tinggi menjadi kunci sukses dirinya, sehingga ia mampu menggandeng perajin yang berasal dari beberapa daerah di Yogyakarta, Surabaya, Probolinggo, Plered dan lain-lain.
Jujur kepada setiap pelanggannya juga menjadi perhatian utama Ita. Ia tidak segan-segan memberitahukan kepada calon pembeli mengenai kualitas barang yang akan dijualnya. "Kalau itu kualitas nomor dua, ya pasti calon pembeli saya kasih tahu," sambung kelahiran 17 Juni 1971 ini.
Ita menjelaskan barang kerajinan yang dijualnya mempunyai konsumen yang mengerti kualitas berdasarkan bahan baku pilihan.
Tentu saja bila barangnya berkualitas tinggi, harga yang ditawarkan akan disesuaikan. Namun, ia berusaha untuk tetap menampilkan produk yang dapat dikonsumsi oleh semua kalangan. (Ciputraentrepreneurship.com)
0 komentar:
Posting Komentar